Hikmah Dari Suatu Permasalahan

Setiap orang pada titik tertentu dalam hidupnya niscaya akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Bentuknya sanggup bermacam-macam: sanggup alasannya ialah sakit keras, berpisah dengan pasangan atau keluarga, dikhianati sahabat atau saudara, difitnah dan dibohongi, ataupun itu, Anda mungkin sudah pernah mengalaminya.


Normalnya, kejadian semacam itu akan menciptakan seseorang merasa kesal, sedih, gusar, dendam barangkali, atau merasa bermacam-macam emosi negatif lain. Banyak yang kemudian berandai-andai, “Andai saja saya kemarin tidak melakukan”, “Andai saja kemarin saya” dan berharap apa yang sudah terjadi cuma sekedar mimpi. Ada juga yang kemudian menyimpan rasa dongkol dan entah terpengaruh sinetron atau apa lantas memikirkan skenario balas dendam atau semacamnya.

Memang sabar ialah jawabannya, begitu yang sering kita dengar. Tapi tentu saja, ini jauh lebih gampang untuk dikatakan ketimbang dijalani. Kita tidak sanggup semudah itu meminta perasaan kita menuruti apa kata buku atau mereka yang lebih bijaksana ketimbang kita.

Satu cara yang biasanya populer efektif untuk meredakan dongkol ialah dengan melaksanakan apa-apa yang sama sekali ndak nyambung, tidak relevan dengan apa yang menciptakan yang bersangkutan gusar.

Melihat film lucu, pergi jalan-jalan bersama teman, bermain bersama anak dan keluarga, bermain dengan binatang piaraan, bermain scrabble atau mengisi TTS yang sukar, ataupun yang lainnya. Itu semacam mencari pengalih perhatian dari kegusaran. Meskipun hal semacam itu cukup berhasil untuk mengatasi permasalahan emosi yang ringan, namun untuk problem yang berat, biasanya cara-cara semacam itu kuranglah ampuh.

Anda mustinya sudah sering dinasehati bahwa manakala problem atau gagal tiba pada diri Anda, maka carilah pesan yang tersirat darinya. Anda mungkin juga pernah menasehatkan hal semacam ini kepada sahabat Anda. Tapi mari kita lihat nasehat ini dengan lebih kritis, dengan melihat hasil penelitian terkait hal ini.

Mencari pesan yang tersirat (benefit finding) dari permasalahan ternyata terbukti sanggup menyembuhkan emosi dari orang-orang yang terkena petaka kebakaran atas harta benda mereka, menderita sakit yang amat parah, bahkan yang didakwa terkena penyakit mematikan (1).

Salah satunya ialah sebagaimana yang dilakukan oleh Michael McCullough dan rekan-rekannya dari Universitas Miami (2). Lebih dari 300 mahasiswa pertama ditanya wacana kejadian yang pernah terjadi dalam kehidupan mereka di mana ada seseorang pernah melukai dan menyerang diri mereka, apapun itu bentuknya.

Sepertiga dari partisipan kemudian diminta untuk menghabiskan beberapa menit menceritakan kejadiannya secara rinci, berfokus pada betapa murka perasaan mereka dan bagaimana pengalaman itu telah berikan dampak yang jelek bagi kehidupan mereka. Kelompok kedua juga diminta melaksanakan hal yang sama, namun fokusnya pada hikmah, keuntungan, atau benefit yang didapat dari pengalaman itu; entah menjadi manusia yang lebih bijaksana ataupun yang lain. Kelompok ketiga sekedar diminta untuk menjabarkan rencana acara mereka untuk keesokan harinya.

Di simpulan studi, setiap orang diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur bagaimana pikiran dan perasaan mereka terhadap orang yang telah melukai mereka. Hasil dari acara mencari pesan yang tersirat dari pengalaman jelek ternyata membantu partisipan mengatasi murka dongkol jawaban situasi mereka itu. Mereka menjadi lebih pemaaf terhadap ia yang telah melukai mereka, dan kecil sekali keinginan untuk membalas dendam atau sekedar menjauhi mereka.

Menariknya, bahkan inovasi pesan yang tersirat ini sanggup jadi dirasakan tanpa seseorang dengan sangat keras memaksudkannya untuk itu. Semisal, hasil penelitian menyampaikan bahwa beberapa sifat baik mirip rasa syukur, cita-cita positif, kepemimpinan, bersama-sama di Amerika menjadi meningkat sehabis terjadinya kejadian serangan teroris 9/11 (3). Selain itu, ada juga penelitian yang menyampaikan bahwa tatkala seseorang mengalami sakit keras, itu akan menciptakan banyak hal baik dari dirinya yang muncul dan bertambah, semisal saja keberanian, perilaku adil, selera humor, dan penghargaan pada keindahan dan kecantikan (4).

Jika sedang marah, menonjok sansak (atau seseorang) sesungguhnya tidak membantu, melainkan malah memperparah. Begitu juga dengan memakai kata makian (ada risetnya, namun saya belum berhasil menemukan lagi di mana referensinya). Sesungguhnya pilihan kosakata yang terucap akan kuat betul pada bagaimana emosi yang kita rasa.

Maka dikala sedang dongkol, alih alih menyampaikan $*!%7@* (whatever it is), coba  ucapkan: “PriKiTiW!!” yang mana tampak tidak relevan untuk mewakilkan rasa geram. Tapi justru itu tujuannya: menurunkan intensitas emosi dengan kata. Alih-alih berkata, “aku juengkel bianget; benci benci benci!” ucapkan, “Aku ngerasa geli ama orang itu”.

Marah, dongkol dan gemes murung itu tak mengapa; rasakan saja itu, yang penting jangan berlama-lama. Anda tahu betul betapa problem telah sedikit banyak kian menghebatkan Anda: jadi lebih sadar potensi, jadi lebih menghargai aspek tertentu dalam hidup, lebih menghargai relasi tertentu, lebih bijaksana, lebih terampil dalam mengkomunikasikan pikiran dan emosi, lebih pemaaf, dan segala yang melebihkan kualitas diri Anda.

Jika saja Tuhan tidak peduli pada kita, tentu Beliau tak akan datangkan ‘hadiah’ itu kepada kita. Semua yang menimpa kita, itu tidaklah salah sasaran. Tatkala kita belum sanggup menciptakan kualitas diri kita lebih besar ketimbang problem yang menimpa, Tuhan akan menciptakan kita tertimpa problem yang sama; persis menyerupai mengulang mata kuliah.

Marah itu tak mengapa, yang penting jaga verbal dan tindakan di kala itu, dan jangan berlama-lama dengan perasaan itu. Jangan lupa pastikan diri berguru dari kegalauan dan problem Anda.

Berbagai Sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel